Senin, 07 Januari 2008

I SENANDUNG INDUSTRI DARI BUKIT HEXON

Udara Segar Dan Kopi Hangat

Hari itu, Selasa, 10 Oktober 2006. Desiran angin pegunungan menyiram aroma kesejukan di sekujur tubuh dan udara segar berhembus lembut menyapa dada. Suara mesin membelah kesunyian pagi. Peluh pun perlahan menyatu dengan lipatan helaian pakaian. Padahal kami masih berada dalam sebuah mobil yang sedang merangkak menuju Bukit Hexon di Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Tepat pukul 10.15 WITA, mobil yang ditumpangi dari Denpasar masuk perkampungan Tempek Lobong, sebuah dusun kecil yang dihuni 17 kk, terletak sekitar 1 km dari Bukit Hexon. Empat penumpangnya bergegas menjejak kaki di tanah dusun, seakan tak sabar menghirup sepuas-puasnya udara segar daerah pegunungan.

Beruntung. Saat itu, kami bisa bertemu dengan kepala kampung, Made Yasa (45) dan Gede Eddy Sukawiratha (27), pimpinan proyek pembangunan Bukit Hexon. Mereka sedang duduk di kursi panjang, depan Koperasi Wahyu Pertiwi Bukit Hexon. Kami disambut hangat. Terpatri penerimaan tulus warga desa yang masih menyimpan keramahan alamiah tanpa dibalut senyum artifisial kapitalistik.

Made Yasa selaku tuan rumah membentang karpet hijau di balai bengong berukuran 2 x 2 meter. Canda tawa dan saling bertanya soal kondisi perjalanan jadi menu awal percakapan. Maklum, kami sudah sering bertandang ke kampung Tempek Lobong. Tak lama berselang, tuan rumah menghidangkan kopi hangat. Kami menyeruput dengan penuh rasa terima kasih.

Kunjungan tim wartawan (tulis dan foto) yang dipimpin Beny Uleander dari Tabloid Otomotif MONTORKU dan dwi mingguan KORAN PAK OLES untuk merekam dan mendengar langsung kisah dari mulut Made Yasa dan Gede Edi soal sejarah awal Bukit Hexon, awal pembangunan fisik Bukit Hexon dan potret partisipasi masyarakat sekitar. Sayup-sayup di kejauhan terdengar suara dentingan palu, ayunan pacul dan gesekan skop para pekerja di Bukit Hexon yang bisa dilihat dari Tempek Lobong. Secuil moment yang ikut memicu dan memacu keberanian kami untuk merangkum semua penuturan terkait satu tahun pembangunan Bukit Hexon sebagai garden track dan kawasan agrowisata di Bali Utara.

Bukit Sandeh Milik Pan Sringin

Perguliran waktu adalah parade sejarah kehidupan dengan penggalan episode seputar kisah kehidupan, ihwal awal sebuah perkampungan dan riwayat sebuah tempat. Nama asli Bukit Hexon adalah Bukit Sandeh, sebuah bukit hijau di ketinggian 1320 meter dari permukaan laut (dpl), 60 km dari Denpasar atau dapat ditempuh dengan kendaraan 1 jam, 15 menit dari Kota Denpasar. Keindahan Bukit Sandeh terkurung di antara air terjun Yeh Mampeh, 3 km di sebelah timur yang belum dikembangkan dan Pura Puncak Mangu di sebelah selatan.

Bagaikan dua tetangga, Bukit Sandeh berbatasan dengan hutan lindung (sebelah selatan) yang oleh warga setempat lebih dikenal dengan sebutan hutan Alas Gege. Bagi warga sekitar, Alas Gege inilah adalah oase. Dari hutan yang didominasi tumbuhan cemara pandak, cemara geseng, kopi jenis arabika dan markisa itu mengalir mata air berlimpah. Di timur Bukit Sandeh menjulang sebuah bukit kecil bernama Bukit Jambul. Bukit Hexon berpotensi menjadi areal agrowisata pertama di Kabupaten Buleleng bahkan propinsi Bali. Di sekitar kawasan Bukit Hexon ada sumber air panas, jalur veteran (pejuang) dari arah Kintamani sekitar 10 km, jalur tembus menuju Danau Buyan dan ada potensi tracking hutan belantara.

Bukit seluas 8 hektar itu awalnya milik Pan Sringin, warga desa setempat. Ia menjual kepada Pak Edi, seorang keturunan Cina asal Singaraja untuk ditanami tumbuhan kopi jenis arabika. Pada tahun 1997, Bukit Sandeh dibeli Gede Sandi, pensiunan PNS untuk dijadikan areal peternakan sapi Bali. Letaknya memang terpencil dan sangat cocok untuk kegiatan peternakan. Tanahnya yang subur bisa ditanami berbagai jenis rumput atau pakan ternak. Gede Sandi mendirikan sebuah kandang sapi yang masih berdiri tegak hingga kini. Pada November 2006, Gede Sandi menjual Bukit Sandeh kepada perintis pertanian organik berbasis Teknologi Effective Microorganisms (EM) di Indonesia, Gede Ngurah Wididana alias Pak Oles.

Nama Hexon Dan Ide Gila

Bukit Sandeh pun berganti nama menjadi Bukit Hexon. Penamaan seiring dengan penemuan produk teranyar PT Pak Oles and Biotor Technology dalam bidang otomotif, HEXON (Herbal Antioxidant), Vitamin Oli Mesin. Tekad Pak Oles membangun Bukit Hexon yang terletak di daerah terpencil di Desa Lemukih, Sawan, Buleleng sejak November 2005 silam sebagai daerah agrowisata dan garden track, lahir dari sepercik impian motivasi yang berbasis Membangun Desa, Membangun Bangsa. "Seorang pengusaha yang tidak memiliki visi pemberdayaan masyarakat pedesaan tidak akan berani berinvestasi di daerah terpencil," ujarnya.

Di atas lahan seluas 8 hektar itu, Pak Oles ingin menanam berbagai jenis tanaman potensial yang dikandung dalam perut bumi daerah tersebut seperti markisa, strawbery, asparagus, wortel dan kentang dengan menerapkan pertanian organik berbasis teknologi EM yang ramah lingkungan. Masyarakat sekitar pun diberdayakan untuk mempelajari pertanian organik 'modern' dan mereka dilibatkan dalam pengembangan pertanian berskala industri.

Pak Oles melihat, ke depan bisa ada usaha produk turunan yang bisa dikembangkan. Sebuah misi mulia yang bermodal nekad. Tidak heran, banyak kalangan yang menyebut ide menyulap bukit tersebut sebagai sebuah Ide Gila yang digelontor seorang Pak Oles. Ide Gila itu juga sempat menghantui pikiran banyak karyawan terutama soal dana yang harus dipasok untuk mensuport pelbagai aktivitas pembangunan Bukit Hexon.

Sebutan Ide Gila itu ada benarnya, bila merunut pada lalu lintas pengalaman dan pemikiran tentang seputar hari kemarin dan hari ini. Namun jauh lebih benar lagi, kala Ide-Ide Gila itu ditempatkan pada rajutan pembangunan di bentangan litani hari esok. Itulah mental sejati seorang pemikir, peneliti, pengusaha dan investor yang visioner. Jadi, benar adanya bila hidup hari ini karena ada hidup dan kehidupan pada hari kemarin, dan hidup hari esok karena sudah ada hidup dan kehidupan yang dititi sejak hari ini.

Pada jagat refrektif demikian, bisa tersemai ragam pertanyaan dari siapapun, dari manapun, di manapun dan kapanpun. Namun bagi Pak Oles, pertanyaan terpenting adalah bukan soal dari mana uang untuk membangun Bukit Hexon, tetapi produk apa yang harus lahir dari dinding-dinding Bukit Hexon.

Jika pemberdayaan masyarakat ini berjalan, maka dengan sendirinya potensi daerah lain akan tumbuh, termasuk pengembangan potensi agrowisata. "Selama masyarakat tidak diberdayakan dalam aksi-aksi pembangunan nyata, jelas tidak akan ada kemajuan di suatu daerah terpencil termasuk roda industri dan pariwisatanya," tegas pria yang gemar membaca ini.

Agropolitan Praksis ala Pak Oles

Secara reflektif, ada sebuah guratan obsesi Pak Oles untuk membangun sebuah bukit di daerah terpencil dengan masyarakatnya yang lugu, miskin dan terbelakang dalam akses informasi sebagai tantangan spesifik memahat implementasi visi Membangun Desa, Membangun Bangsa.

Salah satu akar keterpurukan pembangunan di Indonesia dalam perspektif penemu Minyak Oles Bokashi ini adalah minimnya metode pengelolaan ruang kawasan sentra produksi pangan nasional dan daerah (agropolitan). Hal ini terkait erat dengan ketidakseriusan manusia Indonesia dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada, khususnya pengembangan pertanian mikro menuju pertanian makro di desa.

Agropolitan, diartikan sebagai upaya pengembangan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena sistem dan usaha agribisnis yang berjalan. Tentu berbias pada pelayanan dan dorongan terhadap berbagai kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Sebagai pengusaha swasta yang bergerak di bidang industri pertanian, pengolahan limbah dan kesehatan, pria kelahiran Buleleng, 45 tahun silam itu memendam obsesi pemberdayaan masyarakat pedesaan yang jauh dari sentuhan program pembangunan maupun akses informasi.

Apalagi di berbagai desa di Bali, masih ditemukan banyak lahan produktif yang tidak diolah untuk berbagai kegiatan berbasis pertanian. Hal ini terjadi karena masyarakat masih menerapkan pola pertanian tradisional dan pemerintah daerah "kurang" memiliki visi membangun sentra pertanian menuju praksis kegiatan agribisnis, agroindustri dan agrowisata.

11 November "Kelabu" (Kerja Libas Batu)

Terhitung sejak tanggal 11 November 2005, pembangunan sarana vital dilaksanakan. Pembukaan jalan menuju Bukit Hexon oleh 50 orang tenaga produktif asal Dusun Tempek Lobong dan Munduk Tajun. Dengan gaji harian Rp 20 ribu, sejak pukul 08.00 - 16.00 WITA, mereka menggaruk dan meratakan tanah jalan menuju Bukit Hexon. Ada teriakan aba-aba. "Siap-siap... Satu...dua...tiga..." Para pekerja itu lantas sukses menggulingkan batu seberat 30-40 ton ke jurang diiringi tepuk tangan berlepotan lumpur. Itulah koleksi kenangan pembukaan akses jalan menuju Bukit Hexon yang penuh timbunan batu diselesaikan selama 1,5 bulan.

Suatu prestasi yang luar biasa. Tanpa bantuan alat berat, mereka melibas bebatuan granit pegunungan seberat 100 kg hingga 1 ton. Kerja keras dan disiplin tinggi itu berbekal tangan kosong dan 25 pahat besi (betel). "Kami masih ingat 25 betel itu hancur dan sekarang sudah tidak bisa dipakai lagi," kenang Made Yasa.

Pengalaman mengerikan pun menghampiri Made Yasa. Ia nyaris tertimpa gelondongan batu seberat 1 ton saat bekerja di pangkung (kali mati). Sejengkal saja, batu besar yang berasal dari tebing itu hampir menggilas tubuhnya. Namun Yasa selamat, meski sedikit mengalami shock. "Saat itu saya tak mendengar suara batu menggelinding. Setelah batu itu melewati wajah saya dan jatuh ke jurang, saya masih sempat tertawa. Setelahnya baru saya gemetar ketakutan bahwa saya hampir kehilangan nyawa," ungkap Yasa yang di-ia-kan saksi mata, Gede Eddy Sukawiratha. "Kami bersyukur masih dilindungi Tuhan," ujar Eddy.

Dari kondisi awal jalan setapak selebar 1 meter, terbentanglah jalan utama sepanjang 1 km yang membelah areal perbukitan dengan lebar jalan 3 m. Selokan di bagian tepi melengkapi kondisi fisik jalan baru guna menghindari genangan air pada badan jalan dan bahaya erosi jika musim hujan tiba. Dengan struktur tanah padat, ditunjang lapisan batu gunung yang keras, ruas jalan kini sudah leluasa dilalui kendaraan. Patut dicatat, kendaraan pertama yang masuk ke Bukti Hexon adalah Jeep (CJ7) yang disetir Yunus Sugianto, Kepala Mekanik Bengkel Pak Oles saat menyambut matahari, 1 Januari 2006 di puncak Bukit Hexon.

Air Mengalir Ke Tempat Yang Rendah

Keseriusan Pak Oles menggarap Bukit Hexon berbuah senandung harapan tentang industri kerakyatan dari dan di desa. Harapan tersebut membuncah di dada warga Desa Pegadungan, Sukasada, Buleleng ketika Pak Oles membentuk tim ekspedisi kecil yang melakukan survey dan eksplorasi sumber mata air yang berasal dari Alas Gege, sebuah hutan lindung di selatan Bukit Hexon. Air sebagai prasyarat utama memulai sebuah usaha apa saja. Berbekal teknologi alam ''air mengalir ke tempat yang rendah'', tim survey bersorak gembira karena lokasi mata air lebih tinggi dari Bukit Hexon. Sebuah keberuntungan dan berkah yang tak terduga.

Selanjutnya, warga setempat dilibatkan dalam pembuatan saluran air untuk kebutuhan Bukit Hexon dan warga sekitar. Saluran air sepanjang 1,6 km tersebut menghabiskan 400 batang pipa berukuran 1,5 dim dan 200 batang pipa berukuran 1 dim. Suplai listrik didapat dari Banjar Mertasari sejauh 1 km.

Itulah kilas balik pembangunan fisik di Bukit Hexon yang lahir dari rahim idealisme merajut pembangunan dari dan di desa merambah kota. Visi yang dipertaruhkan Pak Oles sangat elegan. Mata rantai industri harus dibangun di dan dari desa-desa, bukan di dan dari kota ke kota-kota berikutnya. Prof Dr Marwah Daud, pernah menilai konsep pembangunan yang dilakukan Pak Oles merupakan langkah brilian di tengah lalu lintas wacana dan teori pembangunan ekonomi kerakyatan. Kebenaran dan ketangguhan sebuah visi siap diuji dalam perjalanan waktu. Bukit Hexon pun menjadi salah satu mosaik semboyan Membangun Desa, Membangun Bangsa.

II KAWASAN YANG MENGALIR MATA AIR HARAPAN

Tiap 3 Bulan Panen Markisa Rp 50 Juta

Sesuai catatan dari sertifikat tanah, secara administratif, Bukit Hexon masuk dalam wilayah Desa Lemukih, Kecamatan Sawan. Namun bagi masyarakat di dusun Tempek Lobong, Pegadungan, Bukit Hexon masih dalam wilayah Kecamatan Sukasada berdasarkan tapal batas. Di kaki Bukit Hexon terdapat Desa Pegadungan, Lemukih, Pancasari, Pegayaman, Longsega, Katyasa dan Mertasari.

Nama Dusun Tempek Lobong tidak dapat dilepas-pisahkan dari eksistensi Bukit Hexon. Ibarat pintu gerbang, Tempek Lobong adalah pintu masuk menuju Bukit Hexon. Selain itu, kehidupan warga 17 KK setempat sudah menyatu dengan Bukit Hexon yang dulu bernama Bukit Sandeh.

Bagi warga sekitar, Bukit Sandeh, Alas Gege dan Bukit Jambul adalah tulang punggung perekonomian mereka. Setiap tiga bulan sekali, tutur Made Yasa, Kadus Tempek Lobong, warga sekitar masuk hutan lindung Alas Gege untuk mengumpulkan buah markisa yang tumbuh lebat dan liar. Untuk sekali musim panen, mereka bisa mendulang rejeki nomplok Rp 50 juta sampai Rp 60 juta. Setiap hari, sekitar 50 sampai 60 orang dari Desa Pegadungan, Lemukih, Pancasari, Pegayaman, Longsega, Katyasa dan Mertasari masuk hutan Alas Gege, dan keluar dengan dua karung buah markisa per orang.

Buah markisa menjadi sumber pendapatan mereka selama bertahun-tahun. Menyaksikan keseharian hidup warga sekitar Bukit Hexon menyisakan potret miring kehidupan masyarakat pedesaan yang kurang mendapat sentuhan program pembangunan, akses informasi dan metode pertanian tepat guna. "Kami jarang mendapat kunjungan dari pemerintah atau dinas pertanian. Padahal masyarakat di sini sangat membutuhkan penyuluhan pertanian yang tepat," ungkap Gede Eddy Sukawiratha (27).

Memang, penghuni kaki Bukit Hexon umumnya warga pendatang. "Tidak ada penduduk asli Tempek Lobong. Kami semua pendatang di sini," ujar Made Yasa. Mereka bercocok tanam dengan menanam ubi, jagung dan tanaman kopi arabika. Kini mereka mulai belajar menanam tanaman bernilai ekonomis tinggi seperti strawberry, seledri, bawang prei dan wortel karena cocok dengan kondisi tanah.

Kondisi perekonomian yang sulit, kerap menggoda warga sekitar melakukan pembalakkan liar kayu hutan. "Sekarang sudah kurang, karena mereka sudah ada penghasilan dari proyek Bukit Hexon. Kalau dulu banyak sekali yang masuk hutan mencuri kayu. Mereka sulit cari uang," papar Yasa.

Statistik Pengunjung